Beranda | Artikel
Pendapat Syadz di Dalam Fikih
Sabtu, 29 Juni 2024

Syadz secara istilah berarti bersendirian dari yang banyak atau jemaah. Sedangkan istilah syadz di dalam ilmu hadis yaitu yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul (diterima) yang menyelisihi yang lain yang lebih utama.[1]  Adapun syadz di sisi para ulama fikih memiliki beberapa pengertian. Istilah syadz ini bisa diartikan menyelisihi pendapat jumhur atau mayoritas ulama, dan bisa diartikan menyelisihi  ijma’ atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i.[2]

Muhammad Rawas Qal’aji di dalam bukunya Mu’jamu Lughati Al Fuqaha` menyebutkan, “Syadz adalah sesuatu yang menyelisihi kaidah, qiyas, atau kebiasaan. Adapun pendapat syadz adalah pendapat yang pemiliknya menyelisihi atau tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama fikih lainnya.”[3]

Adapun batasan syadz yaitu yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Setiap orang yang menyelisihi kebenaran di dalam masalah apa pun, maka masalah tersebut  terkandung di dalamnya syadz.[4] Pendapat inilah yang dikuatkan Ibnu Hazm rahimahullah setelah beliau menyebutkan definisi batasan syadz menurut para ulama dan membantahnya. Sebab menyendirinya pendapat dari semua atau kebanyakan ulama ada yang berdasarkan dalil, ada yang tidak. Sehingga, apabila pendapatnya tersebut dibangun di atas dalil syar’i kemudian teryata benar dan sesuai al-haq, maka ia tidak disebut syadz, meskipun ia menyendiri. Karena barangsiapa yang pendapat dan argumennya berasal dari Al Qur’an atau As-Sunnah, kuat pendalilannya, dan sesuai dengan al-haq, maka itulah pondasi tegaknya langit dan bumi, berdasarkan firman Alla Ta’ala,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al haq).”

Adapun jika menyendirinya dari jemaah ulama fikih di dalam al-haq dan menyelisihinya, maka itulah syadz yang menyelisihi kebenaran dan ia termasuk kebatilan. Karena tidak akan ada kebenaran bercampur dengan kebatilan, melainkan yang al-haq jelas dan yang batil jelas. Sehingga, syadz yang jelas menyelisihi al-haq, maka ia masuk ke dalam kebatilan.

Oleh karenanya, tidak disebut syadz, pendapat yang datang dari minoritas ulama fikih, bahkan dari seorang ulama fikih selama al-haq tetap ada pada dirinya dan ia berpegang teguh dengannya. Dan tidak pula bisa dibatalkan oleh jemaah atau sebagian ulama lainnya. Sungguh hanya Abu Bakar dan Khadijah radhiyallahu ‘anhum saja yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal Islam, meski demikian mereka disebut jemaah. Sedangkan seluruh manusia di bumi adalah orang-orang yang menyimpang dan terpecah-belah, maka mereka bisa disebut syadz dan batil sekalipun mereka berjemaah atau mayoritas.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Junaidi, S.H., M.H.


Artikel asli: https://muslim.or.id/95690-pendapat-syadz-di-dalam-fikih.html